Abil

Posted by

Kalau ada anak gadis yang selalu ada di pikiranku mungkin ia adalah anakku Nabila. Aku menamainya begitu untuk mewujudkan cita-cita kita memiliki anak bernama Abil. Tapi karena yang lahir perempuan, perlu ada sedikit modifikasi agar terlihat sedikit feminim. Maka jadilah nama anak kita sekarang Nabila, walaupun aku dan kamu tetap memanggilnya abil.


Kita tau sejak kita memiliki Abil, keadaan rumah jauh lebih ramai dari biasanya. Tidak hanya tangisnya yang menggelegar, tapi juga tangismu yang kecapekan. Bagaimana tidak, Abil sering tiba-tiba terbangun di tengah malam. Sangat tidak enak, sangat tidak nyaman. Kadang kamu juga jengkel padaku yang bisa-bisanya tetap terlelap mendengar semua kebisingan itu.


Dan Abil tumbuh dengan kasih sayang kedua orang tuanya yang lengkap. Tapi malam itu karena Abil terlelap, aku dan kamu jadi punya waktu untuk ngobrol di ruang tamu. Di mulai dari basa basi nanya bagaimana hariku di kantor. Aku bercerita seperti biasa, banyak kerjaan, tapi aku senang menjalaninya. Kamu membawakanku segelas kopi, walaupun aku tak suka kopi, tapi jika menyeduhnya denganmu aku tak keberatan.

Sambil menyeduh kopi di gelas kamu mulai melempar topik. "Mas, padahal kita berdua sama-sama kerja, sama-sama berpenghasilan cukup, tapi kenapa tabungan kita kosong ya Mas" kata mu. Aku meneguk kopiku, melihatmu lamat-lamat untuk mendengarkan kelanjutannya. "Walaupun sudah dewasa begini, ternyata berat ya mas, membiayai keluarga sendiri dan orang tua. Kalau bisa, aku pengen kita punya dana pensiun, agar kelak Abil bisa menggunakan seluruh penghasilannya untuk dirinya sendiri. Aku tidak ingin membebani anak kita nanti mas. Aku gak pengen mereka sama seperti kita. Sandwich generation."

Aku tersenyum melihat istriku karena teringat betapa dulu dia sangat marah kalau aku membahas tentang sandwich generation. Menurutnya dulu, menghidupi orang tua adalah kewajiban sekaligus kehormatan seorang anak. Dia merasa kita nggak seharusnya terbebani dengan mereka. Tapi setelah realitas itu datang, pikiran istriku mulai terbuka dan menyadari kebenaran kata-kataku dulu.

"Dek, aku sepakat untuk yang kita punya dana pensiun agar Abil tidak bernasib sama dengan kita. Aku akan bekerja lebih keras lagi supaya kita bisa ada tabungan. Kamu jangan terlalu capek ya". Kataku. Istriku memelukku sambil menyeduh kopinya yang mulai dingin.

Dari balik kamar, suara tangisan Abil menggelegar. Membuyarkan semua kemesraan kami. Istriku segera lari tergopoh-gopoh menggendong Abil. Menenangkannya. Memang benar, pelukan Ibu adalah kehangatan terbaik yang bisa didapatkan seorang anak. Lihatlah istriku, dengan daster lusuh dan rambut acaknya, dia tetap terlihat cantik. Aku mengambil dua gelas yang kosong dan berjalan ke arah wastafel. Di sana sudah ada tumpukan piring dan gelas. Sampai di depan wastafel, aku dan istriku saling lirik. Aku segera meletakkan dua gelas itu di wastafel dan buru-buru kabur. Demi melihat itu sebuah sandal terbang ke arahku, diiringi omelan istriku. Aku tertawa terbahak-bahak, senang rasanya melihatnya istriku yang jengkel.

Hari pun mulai pagi. Tadi malam akhirnya aku yang mencuci piring dan gelas kotor. Aku sakit perut karena tertawa melihat istriku yang jengkel. Entah kenapa, aku suka jahil kepadanya. Berhubung ini hari libur, aku membantunya mengurus abil. Menggendongnya, mengganti popok, membuat susu formula, dan lain sebagainya, hingga abil tertidur.



Blog, Updated at: 20:56

0 komentar:

Post a Comment

Followers

Popular Posts

Powered by Blogger.
Adsense Indonesia