Seperti empat seri
sebelumnya, novel Eliana ini menceritakan pengalaman-pengalaman Eliana menjadi
anak sulung keluarga Syahdan. Selain itu dalam seri ini diceritakan juga masa
muda mamak Nur dan Bapak Syahdan, lalu tentang besarnya kasih sayang mamak,
namun yang menjadi fokus utama dalam novel ini ialah perlawanan Eliana terhadap
tambang pasir. Untuk lebih singkatnya kalian boleh baca sinopsis di bawah ini,
dan untuk lebih lengkapnya saya sarankan membaca bukunya.
Cerita dimulai ketika
Eliana bersama Amelia diajak bapak dan tetua kampung lainnya ke kota kabupaten.
Dia dan Amelia dititpkan kepada koh Acong, sementara Bapaknya dan tetua kampung
lainnya pergi ke sebuah gedung untuk berunding tentang rencana penambangan
pasir di kampung mereka. Namun setelah lama menunggu bapaknya tidak kunjung
keluar-keluar juga. Amelia yang tidak sabaran pun nyelonong masuk ke dalam
gedung mencari bapak sehingga otomatis Eliana mengikutinya. Setelah masuk ke
dalam gedung itu, Amelia pun langsung memeluk bapak. Bapak melotot, menyuruh
Eli untuk membawa adiknya keluar. Hingga laki-laki tambun bernama Johan(pemilik
perusahaan tambang pasir) menyuruh Eli dan Amelia untuk tetap tinggal. Sambil
terus membujuk bapak, Johan juga menghina bapak. Akibatnya Eli naik pitam dan berteriak-teriak
membela bapak.
Cerita berikutnya berasal
dari permusuhan Eliana dengan Marhotap. Entah apa pemicunya yang membuat Eli
sedemikian benci dengan Marhotap. Apalagi ketika Marhotap tiba-tiba menjadi
murid jenius baru di kelas, Eli semakin benci plus iri. Namun ketika puluhan
truk tambang pasir datang, permusuhan Eli dan Marhotap mereda. Bahkan mereka
sempat menjadi sahabat, dan mendirikan geng Empat Buntal bersama Damdas
dan Hima. Geng Empat Buntal ini memiliki misi mengganggu kenyamanan
pekerja tambang pasir. Namun sayang ketika Marhotap nekad menyerang tambang
pasir itu sendiri, ia menghilang dan tidak kembali lagi.
Eliana mencoba
menceritakan ke warga kampung dan polisi, namun ketika mereka ke TKP tak
satupun barang bukti menunjukan bahwa pihak tambang pasirlah yang menghilangkan
Marhotap. Singkat cerita kasus Marhotap menguap begitu saja, hilang misterius.
Hikmah dari peristiwa ini
adalah negosiasi ulang yang akan dilakukan antara pihak kampung dan tambang
pasir. Selama tenggang waktu sebelum negosiasi, kegiatan tambang dihentikan
sementara.
Hari yang ditunggu-tunggu
akhirnya datang juga, negosiasi itu pun dilaksanakan. Para tetua kampung
termasuk Pak Syahdan(Bapaknya Eli), menghadiri negosiasi tersebut, ditambah
lagi dua teman aktivis paman unus dan Sambas seorang wartawan koran terkenal.
Negosiasi berjalan alot, membuat Eli yang berada di luar bosan. Karena di rapat
sebelumnya Eli membuat keributan, ia tidak diperkenankan masuk. Eli pun mencoba
jalan-jalan ke lantai 3 gedung tersebut hingga Ia mendengar percakapan antara
dua penjaga tambang. Isi percakapan tersebut ialah tentang hilangnyaa Marhotap.
Merekalah yang membunuhnya, mengambil baju dan kalung batu giok Hotap dan
menaruhnya di laci. Mendengar ini Eli seolah menemukan bukti untuk mengungkap
hilangnya Hotap.
Hasil negosiasi adalah
pihak tambang meminta survei persetujuan penduduk dilakukan oleh pihak netral,
sedangkan pihak kampung menginginkan survei ulang dampak tambang terhadap
lingkungan. Waktu tiga bulan pun dibutuhkan untuk merealisasikan permintaan
kedua belah pihak tersebut. Namun Eli punya cara sendiri untuk mempercepat
proses mengeluarkan tambang pasir dari kampung mereka. Ia yang telah mendengar
percakapan antar penjaga tambang tersebut merencanakan mengambil barang bukti.
Bersama tiga buntal lain( Hima, Damdas dan Anton), Ia melancarkan aksinya.
Namun sayang sekali,
ternyata itu semua hanya jebakan dari Johan. Ketika Empat Buntal menjalankan
aksinya,semua penjaga berkumpul untuk menangkap mereka. Geng Empat Buntal
pun disekap di dalam kontainer dan ditinggalkan begitu saja. Besok pagi Johan
akan membarter Empat Buntal dengan persetujuan seluruh kampung atas
tambang pasir miliknya.
Kalian tahu? Ada suatu
masa di antara masa-masa. Ada musim diantara musim-musim. Saat ketika alam memberikan
perlawanan ssendiri. Saat ketika hutan, sungai, lembah, membalas sendiri para
perusaknya. Kalimat tersebut benar sekali, ketika Eli dan yang lain sudah
menyerah, merasa kalah dengan Johan, alam menyelamatkan mereka. Banjir bandang
terjadi, menyapu seluruh tambang, menggulingkan truk-truk dan alat berat.
Beruntung kontainer yang mereka tempati tersangkut di antara pohon-pohon.
Pagi itu hebohlah seluruh
kampung, selain mengeluarkan kami dari kontainer yang sekaligus menjadi bukti
kejahatan tambang, polisi juga menemukan mayat Marhotap yang terseret air bah.
Bukti dan saksi sudah lengkap untuk menjebloskan Johan ke dalam penjara.
Epilog. Eliana meneruskan
sekolah SMP dan SMA di ibukota kabupaten. Kemudian melanjutkan kuliah di
Universitas Kota Provinsi meraih dua gelar sekaligus dengan nilai sempurna.
Satu di bidang hukum dan yang kedua dalam bidang Biologi, kemudian melanjutkan
master hukum dan konservasi lingkungan. Eli memperoleh lisensi pengacara di
usia yang amat muda, kliennya tersebar luas di mana-mana. Bersama belasan
organisasi perlawanan, aktivis lingkungan hidup, forum advokasi internasiona,
mereka bahu membahu menyuarakan kampanye terbuka tentanng pelestarian
lingkungan.
Masih ingat dengam geng Empat
Buntal? Ya, Eli sudah menjadi pengacara, Hima menjadi guru pengganti pak
Bin, Damdas menjadi petani karet yang sukses, dan Anton menjadi pedagang besar
di kota. Belakangan mereka kembali berhubungan karena Johan yang entah
bagaimana keluar dari penjara mencoba mendirikan tambang batu bara, mengirimkan
puluhan truk untuk memporak-porandakan hutan kami. Perjuangan Empat Buntal
kembali dimulai. Tamat.
membosankan
ReplyDelete