Kenapa Kamu Harus Pacaran? #2

Posted by

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Di sebuah restoran sederhana pinggir kota, kupasangkan cincin di jari manismu. "Pas" ucapmu sambil tersenyum. Itu akan jadi cincin pernikahan kita, dengan itu kuharap kita bisa menjadi manusia seutuhnya. Kamu tersipu malu, tak bisa berkata apa-apa untuk beberapa waktu. Hingga pesanan makanan datang, barulah suasana mulai kembali seperti semula.

Hari demi hari berjalan seperti lama sekali, padahal tinggal seminggu lagi akad kita akan dilaksanakan. Aku sudah tidak sabar. Sesuai tradisi, kita akan dipingit, tak boleh bertemu sampai resepsi digelar. Meskipun ternyata, kita masih berhubungan via media sosial.

Tapi, dalam hidup, bukankah hal-hal di luar ekspektasi sering kali muncul? maka begitulah pada kisahku ini. Hari yang terasa lama dan membosankan sebelum pernikahan, tiba-tiba dikejutkan dengan kabar itu. Ini adalah enam hari sebelum kita menikah. Melalui chat media sosial, kau bilang bahwa mantanmu ingin bertemu, dan kamu memohon izin untuk bertemu. Awalnya aku menolak, tapi melihat nadamu yang sangat berharap disertai kata-kata meyakinkan bahwa tak terjadi apa-apa, akhirnya aku mengiyakan.

Kukira itu akan biasa-biasa saja. Tidak mungkin kamu bertindak bodoh di situasi seperti ini. Dan memang tidak ada apa-apa satu dua hari setelah pertemuan itu. Aku pun tenang, kamu membuatku tenang.

Malam itu sudah sangat larut. Aku baru saja  menyelesaikan pekerjaan kantor yang kukebut demi hari pernikahan tanpa beban. Tubuhku lelah sekali, segera kurebahkan badan yang kelelahan itu ke kasur yang entah kenapa terasa sangat empuk. Namun nada dering ponselku memecah keheningan, serasa mengganggu di saat tubuhku sangat butuh istirahat. Awalnya aku ingin mengabaikan, namun setelah kupikir, pasti ada sesuatu yang penting hingga ada orang menelpon selarut ini.  Ternyata telpon darimu.

"Hallo sayang' entah sejak kapan aku mulai berani memanggil sayang. Aku tertawa dalam hati. Satu detik, dua detik, tak kudengar balasan darinya kecuali isakan tangis. 'ada apa sayang" rasa khawatirku segera memuncak. Kamu di rumah kan? Aku akan segera ke sana. "Tunggu" jawabmu. "Tak perlu ke sini." Aku heran. "Aku hanya ingin bicara" tambahmu.. Bicaralah sayang, aku akan setia mendengarkan.
Seperti yang kuduga, ternyata pertemuan kemarin itu bukan biasa-biasa saja. Mantanmu meminta maaf padamu, dia menyesal telah mengkhianatimu. Dari yang kamu bilang, mantanmu itu ternyata tak mengkhianatimu. Orang tuanya yang tidak setuju hubungannya denganmu, sehingga dia terpaksa melakukan itu. Sampai saat itu, aku masih belum menemukan masalahnya hingga kamu menangis. Dan cerita selanjutnya, barulah aku paham.

"Aku tidak tahu apa yang kurasakan. Perasaan itu datang tiba-tiba tanpa bisa kubendung lagi. Kau tahu, sejak awal aku mencintainya. Kita putus waktu itu karena dia bilang dia akan menikah dengan wanita lain. Aku benci dia waktu itu. Tapi setelah aku tahu semuanya, dan dia memperjuangkanku, hatiku sedikit melunak. Dan dia menawarkan sesuatu yang kuinginkan sejak lama. Ia melamarku. Setelah sekian lama, ternyata selama ini dia terus membujuk orang tuanya, agar bisa menikahiku. Aku tahu kita akan menikah sebentar lagi, tapi..." Suaramu terputus.

"Aku ingin menikah dengannya. Kurasa, kamu terlalu baik untukku. Aku merasa, selama ini telah banyak menyakitimu. Aku merasa hubungan kita salah. Aku merasa, aku lebih mencintainya.." kamu menangis. "Maafkan aku, pernikahan kita harus dibatalkan. Aku harus memperjuangkan cintaku. Kuharap kamu mau mengerti." Tutupnya. Malam yang panjang, aku seperti terbuang dalam ruang yang hampa. Kosong, hidup ini kosong seolah seluruh harapan luruh ke dalam tanah. Hidup ini kosong, seolah semua kebahagiaan telah musnah. Astaga!

Pagi hari, tak sampai hati aku bangun dari tempat tidur. Pintuku kukunci rapat-rapat. Aku ingin terus tidur saja. Orang tuaku di luar mulai khawatir, tentu mereka sudah dapat kabar dari orang tuamu. "Nak, yang sabar ya, buka pintunya nak, bapak dan ibu mau bicara." Seru ibuku. Aku tak tega, segera kusiapkan wajah sedemikian rupa sehingga terlihat tegar di mata mereka. Aku keluar. Mereka memelukku. Memberikan banyak wejangan padaku meskipun tak satupun yang benar-benar kudengar. Pikiranku sedang kacau. Begitupun sore hari ketika orang tuamu datang dengan itikad baik. Mereka sama menyesal dengan kejadian ini. Mereka pun sama malunya karena batalnya pernikahan ini.

Aku tak bisa berkata apapun. Sebagai seorang lelaki, luka seperti ini tak akan sampai membuat air mata menetes. Tak apa jatuh sekali lagi, toh rasanya hampir sama seperti saat kamu menolak cintaku dulu. Setidaknya aku sudah siap, sehingga tak sedepresi dulu. Meskipun dalam hati menjerit kesakitan. Dan mungkin setelah ini, aku tak ingin lagi jatuh cinta.


Blog, Updated at: 22:09

0 komentar:

Post a Comment

Followers

Popular Posts

Powered by Blogger.
Adsense Indonesia